Arsip Blog

Minggu, 31 Mei 2009

Diskriminasi Melanggar UU Pendidikan

Oleh arixs
Selasa, 02-January-2007, 09:28:22

Menurut Ratih, kasus tersebut pernah terjadi di sekolahnya. “Sebelumnya kami telah berintegritas dengan salah satu SMA umum swasta di Denpasar. Kerjasama itu sudah terjalin sejak tahun 1993, namun saya kaget ketika sekolah itu menolak menerima anak dari sekolah kami di tahun ajaran 2005/2006 kemarin,”ujarnya.
Seperti biasa, tiap tahun ajaran baru dua atau tiga anak SLB di beri kesempatan menempuh pendidikan berbaur dengan siswa normal di sekolah umum tersebut. Ratih pun membawa tiga anak didiknya mendaftar ke sekolah itu. Ternyata ketika akan mendaftar, pihak tata usaha menghimbau agar menghubungi kepala sekolah yang kebetulan tak ada di ruangan. Akhirnya Ratih beserta tiga siswa tunanetra kembali dengan tangan kosong.
“Berulang kali kami mencoba menghubungi pihak sekolah namun tak ada jawaban.. Jawaban terakhir yang kami terima sekolah tak mau lagi menerima anak berkebutuhan khusus. Menurut saya, mungkin mereka khawatir dengan adanya standar nilai yang tinggi dan sistem evaluasi mereka takut anak cacat tak bisa mencapai standar nilai. Jika tak lulus nama mereka akan jelek,”terkanya. Kini dua orang siswa tersebut sekolah di luar Bali, satu anak lagi masuk di SMALB.
Sebelum anak didiknya masuk di sekolah umum, banyak faktor yang perlu disiapkan siswa, diantaranya kesiapan mental, ekonomi, dan kemampuan akademik. “Jika mereka tak siap mental, meski mereka pintar mereka tak biasa menyesuaikan diri dengan lingkungan. Kemampuan akademik juga diperlukan agar mereka bisa menerima materi pelajaran dengan mudah. Dari segi ekonomi, di sekolah umum berbeda dengan di SLB A/N yang semua proses pembelajaran digratiskan,”katanya.
Diskriminasi masih menjadi masalah penyandang cacat. Kehadiran sekolah inklusif diharapkan bisa mengatasi kenyataan ini. “Bukankah hal ini tercantum dalam UU RI No.20 tahun 2003 pasal 11 ayat 1 yang bunyinya Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselengaranya pendidikan yang bermutu bagi tiap warga negara tanpa diskriminasi,” ujarnya.
Ratih menyesalkan pernyataan Ketua Yayasan IKIP PGRI Bali, IGB Artha Negara belum lama ini. Ia menyatakan penyandang cacat wajib mengikuti tes fisik dan wawasan untuk menjadi guru. “PGRI Bali tak membatasi orang menjadi guru,” ujarnya.
Namun, semua calon mahasiswa wajib ikut tes intelegensi dan fisik untuk masuk Fakultas Pendidikan Olah raga dan Kesehatan. “Jika ternyata ada mahasiswa yang berkebutuhan khusus mau masuk fakultas ini sebelumnya kami sarankan agar memilih jurusan lain karena ada dua tes yang harus dia ikuti,” ujar Artha. —lik

1. Dra. Ni Wayan Ratih Tirtamanti
2. Artha Negara
=======================================

Pelatihan Pijat
di Dria Raba

SLB A/N Yayasan Dria Raba Denpasar memiliki empat jenjang pendidikan yakni dari TKLB-SMALB. Untuk SMALB lebih ditekankan pada ketrampilan massage. “Pijat lebih gampang dikuasai oleh anak- anak tunanetra dibanding ketrampilan lain, untuk itulah dalam proses belajar- mengajar terdiri dari 62% ketrampilan dan 38% teori. Dengan massage kami harapkan setelah lulus mereka dapat mandiri baik itu dengan membuka panti pijat atau tukang pijat keliling/panggilan,” ujar kepala sekolah TKLB-SMALB SLB A/N Denpasar, Ngakan Made Dirgayusa. Hal inilah yang membuat siswa yang ingin melanjutkan ke PT memilih sekolah di sekolah umum dibanding di SMALB. “Di SMALB materi akademiknya sedikit dan lebih banyak ketrampilan. Nanti takutnya jika masuk di SMALB saya tak bisa menyesuaikan diri ketika di PT,” ujar alumnus SMPLB Dria Raba Denpasar, Indrani.
Selama ini Ngakan mengaku, tamatan dari SMALB tak pernah melanjutkan ke Perguruan Tinggi, sebagian besar lebih memilih bekerja sesuai dengan bidang keterampilan yang mereka dapatkan di SMALB yakni memijat. “Bagi mereka yang mempunyai modal biasanya membuka panti pijat, namun bagi yang tak mampu sebagian besar menjadi tukang pijat panggilan atau keliling,”ungkap Ngakan. Tak hanya massage, di SMALB siswa juga dilatih bermain musik. “Siswa kami pernah menjadi juara I lomba menyanyi tahun 2006 dan juara I lomba memainkan alat musik tahun 2006 tingkat propinsi Bali,”ujarnya.
Kini siswa SMALB hanya dihuni dua orang siswa. “satu orang untuk kelas satu, kelas dua kami tak mendapat murid, sedang kelas III sebanyak satu orang,”akunya. Ngakan menuturkan, minimnya siswa masuk ke SMALB selain karena siswa lebih memilih ke sekolah umum, juga banyak siswa yang melanjutkan sekolah ke luar Bali. –lik

Foto:
Ngakan Made Dirgayusa tkh/lik

=================================

SLB Tuna Grahita
Kekurangan Guru

Sekolah Luar Biasa (SLB) C/C1 Penyandang Cacat Tuna Grahita Yayasan Kerta Wiweka Denpasar sudah berdiri sejak tahun 1969. Sekolah ini sekarang menampung siswa penyandang cacat tuna grahita (cacat mental) sebanyak 184 siswa, yang dikelompokkkan menjadi dua yakni 119 siswa kelompok C ( IQ 50 keatas hingga 70) , dan 65 siswa kelompok C1 (IQ 25 hingga 50) dengan asal siswa dari seluruh wilayah Kabupaten/Kota di Bali.
Menurut Made Gintil Muliarta, yang dipercaya menjadi Kepala sekolah sejak dua tahun ini, jumlah prosentase laki-laki dan perempuan seimbang, dengan golongan usia anak-anak dan remaja. Dengan kapasitas guru 18 orang, yang terdiri dari guru negeri 15 orang, guru kontrak 1 orang dan guru honor 2 orang.
Saat ini kata Gintil, sekolah luar biasa ini masih kekurangan guru. Dengan pola pengajaran terapi satu-satu perbandingan jumlah guru dengan kapasitas siswa tidak sesuai. “Maksimalnya, satu guru lima siswa,” kata Gintil yang sudah mengabdikan diri di SLB ini sejak 22 tahun silam.
Minimnya keuangan, kata Gintil mengakibatkan fasilitas yang ada belum memadai dan perekrutan tenaga pengajar baru belum dapat dilakukan.

Penyandang cacat tuna grahita dikelompokkan menjadi tiga, yakni tuna grahita ringan ( IQ 50 ke atas hingga 70) , tuna grahita sedang (IQ 25 hingga 50) dan tuna grahita berat/idiot ( IQ 25 ke bawah)
Gintil menyebutkan siswa yang dididik di SLB ini adalah katagori ringan dan sedang. “Untuk kelompok C (ringan) dari kemampuan akademis, mereka dapat dididik dengan materi pelajaran bahkan bisa membaca. Tapi tidak semua anak dalam kelompok C ini mempunyai daya kemampuan akademis yang sama walau mereka dalam satu kelas. Untuk masuk di sekolah umum, rasanya mereka belum mampu. Karena metode pengajaran anak-anak ini berbeda dengan anak normal yang IQ-nya berkisar 90 hingga 110,” ungkapnya lebih jauh.
Sementara kelompok C1 (sedang), kata Gintil walaupun dididik bertahun-tahun tidak akan mempunyai daya tangkap yang baik meski sudah dilatih dengan terus menerus. Anak ini akan selalu membutuhkan bantuan orang lain seumur hidupnya.
SLB ini mengajarkan pembelajaran dengan kurikulum khusus pendidikan SLB, dengan tenaga pengajar yang telah menempuh pendidikan khusus guru sekolah luar biasa.
Disamping dilatih untuk dapat mengurus dirinya sendiri mulai dari mandi, makan, berpakaian dan prilaku sehari-hari, siswa juga diajarkan bertutur sapa. Beberapa ketrampilan juga diberikan agar mereka dapat memberdayakan diri, seperti memasak, membuat hiasan dari plastik, dan membuat kertas rumput.

Gintil sangat berharap, masyarakat hendaknya jangan memandang rendah pada para penyandang cacat terutama bagi orangtua yang mempunyai anak tuna grahita. Mereka hendaknya lebih koperatif dan lebih sabar menghadapinya. Ia menyayangkan sikap orangtua yang tak jarang memperlakukan mereka seperti raja, apapun yang diminta diberikan. “Karena takut mereka mengamuk. Hal itu justru salah yang mana akan membuat mereka manja. Perhatian keluarga sangat berperan disamping pendidikan di SLB ini,” jelasnya.
Gintil berharap, orangtua hendaknya jangan malu mengajak anak bersosialisasi dengan dunia luar agar anak menjadi lebih mudah dikendalikan. ”Anak akan dapat bertutur sapa dengan orang terdekatnya dan dapat menjaga dirinya sendiri,” kata Gintil sembari menambahkan adanya pelecehan yang menimpa penderita tuna grahita mestinya tidak terjadi jika mereka dapat dididik dan diawasi dengan baik. —ast

Sumber: http://www.cybertokoh.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar