Arsip Blog

Kamis, 28 Mei 2009

Selamat Menempuh Ujian Nasional

Sabtu, 2009 April 18
Pemilihan anggota legislatif dan perwakilan daerah sudah selesai. Sekarang masyarakat tinggal menunggu hasil akhir. Tetapi tidak kalah mendebarkannya, di tengah riuh rendah suasana pertikaian politik akibat merebaknya kecurangan, kekeliruan, dan ketidaksiapan menerima kekalahan, para pelajar setingkat SMA dan SMP tengah bersiap-siap memasuki gerbang Ujian Nasional.

Ujian yang bukan hanya menentukan kelulusan para siswa tapi juga sebagai persaingan gengsi antar sekolah dan antar daerah dalam menyelenggarakan pendidikan tidak bisa tidak menuntut banyak perhatian. Pemerintah secara serius mengantasipasi munculnya kecurangan dengan menurunkan tenaga pengawas sebanyak 1.030.000 orang dengan rasio sepuluh orang anak didik diawasi oleh satu orang pengawas (Kompas/17 April 2009).

Tidak sampai di situ, di luar tenaga pengawas, masih ada lagi tim pemantau independen dari unsur perguruan tinggi dan asosiasi profesi dikerahkan untuk memastikan kemulusan proses Ujian Nasional. Mereka tidak lagi bersifat pasif dengan hanya melaporkan dugaan kecurangan. Mereka pada ujian kali ini diberikan wewenang untuk membuktikan kecurangan.

Karena Ujian Nasional ini bersifat sentralistis dan juga sebagai adu gengsi, maka kekhawatiran tidak hanya menghinggapi para anak didik, tetapi juga para orang tua, pihak sekolah, berikut pemerintah daerah. Untuk itu perlu diwaspadai. Sebab kekhawatiran itu bisa menjadi bibit kecurangan pada pelaksanaannya nanti.

Jika dalam pemilu para calon menutupi kekhawatiran dengan cara politik uang atau dengan yang sejenisnya untuk memastikan diri mereka terpilih, maka dalam Ujian Nasional kali ini boleh jadi melahirkan kecurangan secara sistemik. Perserta didik, guru sekolah, dan pemerintah daerah bisa saja merencanakan suatu kecurangan yang terorganisir agar sama-sama terpuaskan.

Sebelum ujian berlangsung, mungkin saja terjadi kecurangan dengan cara membocorkan soal dan jawaban. Atau para guru studi berupaya membuatkan jawaban soal kemudian memberikannya kepada siswa dengan berbagai cara. Bisa dengan telepon genggam, menyelipkan kertas kecil, atau dengan berbagai tanda yang disepakati bersama.

Itu pada saat atau sebelum dilangsungkannya ujian. Kecurangan bisa juga terjadi sesudah berlangsungnya ujian. Para murid dihimbau untuk tidak mengisi lembar jawaban. Kemudian oknum yang sudah disepakati mengisi lembar jawaban siswa satu persatu. Atau bisa juga lembar jawaban itu diisi terlebih dahulu oleh peserta ujian, kemudian setelahnya tim work kecurangan membetulkan hasil jawaban siswa yang salah. Tidak perlu dengan perolehan nilai yang fantastis, dengan pencapaian nilai kelulusan standar saja sudah cukup untuk menaikkan gengsi sekolah.

Kecurangan mungkin hanya efek. Untuk itu perlu adanya pemikiran ulang tentang Ujian Nasional sebagai akar terjadinya kecurangan. Pertanyaan tentang pemerataan pendidikan, baik terkait dengan kualitas tenaga pengajar, fasilitas sekolah, juga nominal dana yang digelontorkan untuk pendidikan menjadi PR pemerintah untuk menjawabnya.

Proaktif dan Jujur
Sudah tepat agaknya langkah yang diambil oleh beberapa sekolah untuk menurunkan tensi kekhuatiran yang berlebih dengan penyelenggaraan doa bersama, pemberian taushiyah dari ustadz, dan lain sebagainya. Namun yang perlu ditekankan juga adalah pengejawantahan sikap proaktif dan jujur dalam segala ranah kehidupan, terutama dalam konteks menjalani ujian.

Proaktif artinya memiliki inisiatif dan bertanggung jawab penuh atas diri sendiri. Anak yang proaktif tidak mudah menyerah. Dia selalu cerdik menciptakan jalan atas semua kebuntuan yang dihadapinya. Anak yang proaktif tidak mudah melemparkan kesalahan pada orang lain. Dia bertanggung jawab penuh atas pilihan sikap dan laku yang dijalaninya. Dia sadar penuh bahwa risiko tidak belajar adalah mati kutu di ruang ujian.

Tidak ada saran yang lebih tepat untuk saat ini kecuali dengan meningkatkan kualitas belajar anak didik. Semuanya dihimbau untuk belajar dan mengkonsultasikan jenis pelajaran yang ditengarai susah kepada guru bidang studi. Di samping itu, peserta didik juga dituntut untuk kreatif dalam menjawab kemungkinan soal yang tidak terlintas dari bimbingan belajar yang mereka jalani.

Bagi para guru, pemerintah setempat, juga orang tua, tahanlah ego dari bersikap curang. Ketidakjujuran adalah suatu kekejian. Tidak ada prestasi yang memuaskan kalau berdiri di atas pondasi kecurangan. Biarkan Ujian Nasional sebagai tanggung jawab yang semestinya diselesaikan sendiri oleh siswa. Teruslah untuk menghimbau agar peserta didik memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk belajar. Jika perlu pemerintah daerah menyemarakkan Ujian Nasional dengan memasang spanduk-spanduk himbauan belajar layaknya kampanye. Adapun masalah kepelikan Ujian Nasional biarlah nanti menjadi bahan evaluasi pemerintah. Selamat menempuh ujian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar