Arsip Blog

Kamis, 28 Mei 2009

Pendidikan Gratis dan Nasib Sekolah Swasta

Sabtu, 23 Mei 2009
Oleh Biyanto

Kampanye pendidikan gratis melalui slogan ''sekolah harus bisa'' yang dicanangkan pemerintah benar-benar menyisakan persoalan serius bagi sekolah swasta. Sebab, sekolah swasta banyak mengandalkan donasi pendidikan dari masyarakat, termasuk wali siswa. Tegasnya, pertumbuhan dan perkembangan pendidikan swasta selama ini sangat bergantung pada komitmen kelompok-kelompok di masyarakat yang menjadi stakeholder sekolah.

Sejarah perkembangan sekolah swasta juga selalu tumbuh dari masyarakat. Bahkan, tidak sedikit sekolah swasta yang kini menjelma menjadi besar dan mapan berasal dari wakaf seseorang yang kemudian dikelola dan dikembangkan dengan baik oleh pengurusnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa eksistensi sekolah swasta sesungguhnya lebih banyak ditentukan oleh militansi perjuangan guru, kepala sekolah, serta para pengurusnya.

Perkembangan mutakhir menunjukkan bahwa pendidikan telah menjadi bagian dari bidang yang dapat dikelola secara profit. Fenomena itu dapat diamati melalui beberapa sekolah swasta yang tumbuh dan berkembang dengan dimodali sekelompok orang kaya yang bergabung dalam suatu yayasan pendidikan.

Segala kebutuhan operasional pendidikan sekolah itu ditanggung yayasan. Sebagai timbal balik, yayasan mewajibkan siswa membayar donasi pendidikan yang telah ditentukan. Bahkan, tidak sedikit sekolah swasta tersebut berhasil menjadi lembaga pendidikan berkategori besar dan mapan.

Sekolah berkategori itu kemudian berani menentukan biaya pendidikan dalam jumlah sangat tinggi. Yang dijual sekolah swasta berkategori itu adalah layanan akademik dan nonakademik yang memuaskan. Bahkan, dapat dikatakan layanan yang diberikan telah melebihi standar yang ditentukan pemerintah.

Bagi sekolah swasta berkategori besar dan mapan, kampanye pendidikan gratis barangkali tidak banyak berpengaruh. Sebab, sekolah berkategori itu biasanya telah memiliki pelanggan tersendiri. Mayoritas pelanggan sekolah tersebut adalah kelompok menengah ke atas.

Persoalan donasi pendidikan bagi stakeholder sekolah swasta berkategori besar dan mapan tentu tidak lagi menjadi masalah. Bahkan, sebagian besar stakeholder sekolah itu meyakini bahwa lembaga pendidikan yang berkualitas memang seharusnya dijual dengan harga mahal. Sebaliknya, lembaga pendidikan yang dijual murah biasanya berkualitas rendah.

Karena itu, mereka tidak pernah mempersoalkan mahalnya biaya pendidikan. Sebab, bagi mereka, yang penting adalah kepuasan siswa dan orang tua karena mendapatkan layanan pendidikan yang berkualitas.

Tapi, rasanya masih sangat sedikit sekolah swasta yang berkategori besar dan mapan. Kebanyakan sekolah swasta yang ada saat ini berkategori menengah ke bawah. Bahkan, bisa dikatakan mayoritas sekolah swasta berkategori kecil dengan fasilitas seadanya. Biasanya, donasi pendidikan sekolah bertipe itu bersumber dari masyarakat dan pemerintah.

Dana dari masyarakat dihimpun melalui tarikan dalam bentuk SPP, dana pembangunan, sumbangan kegiatan pembelajaran intra dan ekstra kurikuler, serta donatur stakeholder. Sedangkan dana bantuan pemerintah diterima dalam bentuk bantuan operasional sekolah (BOS) dan beberapa block grant untuk pengembangan sarana-prasarana.

Akibat adanya kampanye pendidikan gratis, mayoritas sekolah swasta berkategori kecil harus membebaskan siswa dari segala bentuk tarikan. Hal tersebut dilakukan karena pemerintah menganggap telah banyak memberikan bantuan operasional pendidikan, termasuk kepada seluruh sekolah swasta.

Yang menjadi persoalan sekolah swasta berkategori kecil adalah jika bantuan pemerintah tidak diterima secara rutin. BOS memang diberikan setiap bulan berdasar jumlah siswa. Tapi, berdasar pengalaman beberapa sekolah, BOS tidak pasti keluar setiap bulan. Bahkan, terkadang pencairan dana BOS mengikuti jadwal pemerintah dalam pencairan anggaran dalam setiap tahun.

BOS juga menghadirkan persoalan bagi sekolah swasta yang memiliki jumlah rombongan belajar kecil. Jika mengandalkan BOS, tentu tidak mencukupi kebutuhan menggaji tenaga pendidik dan tenaga kependidikan. Belum lagi dana operasional sekolah yang secara berkala harus dikeluarkan. Fakta itu jelas menunjukkan problem riil yang dihadapi sekolah swasta ketika berhadapan dengan kampanye pendidikan gratis.

Tantangan terbesar yang segera dihadapi sekolah swasta berkaitan dengan kampanye pendidikan gratis adalah musim pendaftaran siswa baru (PSB) yang kini sedang dilaksanakan. Saat PSB ini, sekolah swasta harus bersaing memperebutkan siswa baru dengan sekolah pemerintah dan sekolah swasta lain. Sekolah pemerintah dengan daya tarik SPP gratis, buku pelajaran gratis, dan seragam sekolah gratis akan tetap menjadi primadona bagi masyarakat.

Dengan posisi seperti ini, sekolah pemerintah akan berada di atas angin. Bahkan, sekolah pemerintah bisa dengan mudah memperoleh siswa baru yang berkualitas melalui sistem seleksi yang sangat ketat. Sedangkan sekolah swasta harus mau menerima kenyataan mendapatkan siswa baru dengan kualitas seadanya.

Bagi sekolah swasta, memperoleh siswa baru sesuai kuota yang ditetapkan tentu harus disyukuri. Sebab, ada banyak sekolah swasta yang harus menerima kenyataan tidak memperoleh jumlah siswa sebagaimana yang diharapkan.

Bagi sekolah swasta, jumlah siswa akan sangat menentukan besaran dana operasional yang dapat dihimpun. Jika jumlah siswa berlebih, dipastikan pemasukan dana akan cukup untuk membiayai operasional pendidikan. Bahkan, sebagian dana bisa dimanfaatkan untuk berinvestasi guna mengembangkan sekolah. Tapi, jika jumlah siswa berkurang, pengurus harus berusaha mencari kekurangan dana.

Kondisi terakhir itulah yang dialami mayoritas sekolah swasta berkategori menengah ke bawah. Fakta tersebut telah menyebabkan banyak sekolah swasta mempertaruhkan eksistensinya saat musim PSB tiba.

Berkaitan dengan kampanye pendidikan gratis, yang perlu dilakukan sekolah pemerintah adalah berempati pada sekolah swasta ketika melakukan PSB. Sekolah pemerintah dengan fasilitas sekolah gratis harus bisa menahan diri untuk tidak terlalu bernafsu memperoleh siswa sebanyak mungkin. Yang perlu dilakukan adalah menerima siswa sesuai fasilitas yang tersedia. Calon siswa yang tidak diterima di sekolah pemerintah bisa memilih sekolah swasta sesuai yang dikehendaki.

Sikap berempati ini perlu dikembangkan. Sebab, tidak mungkin fasilitas sekolah pemerintah mampu menampung seluruh siswa. Di sinilah fungsi sekolah swasta sebagai partner sekolah pemerintah bisa bersinergi melakukan tugas mulia yang diamanahkan konstitusi, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.

Lebih dari itu, yang juga perlu dilakukan pemerintah adalah mendistribusikan anggaran 20 persen pendidikan secara lebih proporsional dan berkeadilan bagi sekolah pemerintah dan sekolah swasta. Jika sikap berempati itu tidak dijalankan, berarti pemerintah telah membunuh kiprah sekolah wasta. (*)

*). Biyanto, dosen IAIN Sunan Ampel dan sekretaris Majelis Dikdasmen PWM Jatim

Sumber : http://www.jawapos.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar