Arsip Blog

Minggu, 31 Mei 2009

Pendidikan yang Menghargai Hak Siswa

POTRET pendidikan kita masih buram. Praktik pendidikan dan pembelajaran yang berlangsung di sekolah-sekolah kita selama ini belum berpihak apalagi menghargai hak-hak siswa. Siswa masih saja dijadikan kelinci percobaan dalam praktik pendidikan dan pembelajaran di negeri ini.

Para siswa kita menjadi korban sistem pendidikan nasional yang (maaf) justru tidak mendidik. Pendidikan yang mementingkan hasil akhir, mengeneralisasi kemampuan anak, kurikulum yang padat, menonjolkan kecerdasan pikir (otak), menepikan kecerdasan rasa, kecerdasan budi, bahkan kecerdasan batin memaksa siswa untuk mati-matian belajar mengejar nilai-nilai angka kuantitatif itu. Pulang sekolah dijejali aneka latihan soal-soal, PR-PR, dan sejenisnya yang kemungkinan akan keluar dalam ujian nasional (UN).

Praktik pendidikan dan pembelajaran di sekolah-sekolah sebatas memburu nilai (angka). Begitu perolehan angka-angka dalam SKHU-nya tinggi, puaslah sang guru, para pejabat, dan birokrat-birokrat pendidikan di atasnya. Dan itulah katanya ukuran keberhasilan pendidikan. Perkara kemudian tamatannya menjadi jago korupsi, penipu, penyuap, pecundang, penebar teror, tidak punya etos kerja, tidak bertanggung jawab, malas, tidak kreatif, melawan hukum, dan tindakan-tindakan vandalistik lainnya, itu bukan ukuran keberhasilan pendidikan.

Padahal pendidikan seharusnya dilakukan dan diabdikan demi hidup dan perkembangan anak-anak (para siswa). Anak-anak haruslah diberi kesempatan untuk menjadi dirinya sendiri (unik), menghargai keunikan dan percaya kepada sesamanya, sekaligus mengembangkan solidaritas dan empati dalam menggunakan kepercayaan itu (Sindhunata, 2000).

Pendidikan hendakanya memberikan kesempatan untuk menghormati dan menjadikan anak sebagai manusia utuh. Meminjam kata-kata Romano Guardini, "Anak-anak itu ada bukan hanya agar mereka akan menjadi dewasa, tapi juga, atau malahan pertama-tama, agar mereka menjadi mereka, maksudnya agar mereka menjadi anak, dan sebagai anak mereka adalah manusia."



Anak sebagai Subjek

Bicara masalah pendidikan kita akan bicara masalah kemanusiaan anak. Kita perlu lebih memahami anak sebagai subjek, sebagai manusia yang utuh. Anak-anak (baca: para siswa) itu bukanlah -meminjam istilah Kak Seto- orang dewasa mini, mereka hidup dalam dunia bermain, sedang berkembang, senang meniru, dan berciri kreatif. Dalam konteks inilah penghargaan terhadap hak-hak siswa menemukan aktualitasnya.

Dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, dikemukakan enam hak peserta didik, yakni (1) mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama; (2) mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya; (3) mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orangtuanya tidak mampu membiayai pedndidikannya; (4) mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikan; (5) pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pedndidikan lain yang setara; serta (6) menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.

Dari pengalaman selama ini, ada dua hak peserta didik yang kurang bahkan tidak mendapat perhatian, yaitu hak pada butir (2) dan (6). Praktik pembelajaran (evaluasi) yang seragam yang diejawantahkan dalam bentuk UUB dan UN; pelayanan pendidikan yang tidak sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuan anak; semua siswa disamaratakan, diajar dengan cara yang sama; dan dituntut untuk mencapai kemampuan yang sama dalam semua mata pelajaran membuktikan hal itu.

Padahal praktik pembelajaran yang serba seragam yang tidak mengakomodir keunikan anak dan dinilai secara seragam melalui UN sungguh merugikan anak. Ini disebabkan karena UN sendiri banyak kelemahannya. Diantaranya adalah (1) pengujian dilakukan secara temporal dan dalam waktu yang sangat singkat, (2) hanya mampu m

Sumber: http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=121766

Tidak ada komentar:

Posting Komentar