Arsip Blog

Sabtu, 30 Mei 2009

Pembelajaran Aktif

Pembelajaran aktif
Metode pembelajaran aktif (active learning method) diperkenalkan setelah banyak kalangan guru dan dosen merasakan ketidakpuasannya terhadap pemahaman siswa/mahasiswa terhadap materi ajar. R. A. Millikan, seorang fisikawan pemenang hadiah nobel yang terkenal dengan percobaan titik minyaknya termasuk di antara fisikawan yang sangat peduli dengan proses belajar-mengajar. Ia tidak puas dengan keadaan umum perkuliahan yang ia amati di Eropa dan di Universitas Columbia, tempat ia mengajar, pada masa itu [1,2]. Pengalaman yang sama dialami David Bligh [2,3] dan Ohmer Milton [2,4]. Berdasarkan penelitian terhadap dampak perkuliahan pada 200 kelas yang ia teliti, Bligh mendapatkan kesimpulan bahwa kuliah hanya baik untuk memberikan inspirasi dan mentransmisikan informasi, namun tidak efektif untuk mengajarkan konsep. Milton menjumpai bahwa separuh mahasiswanya yang dipilih secara acak untuk tidak mengikuti kuliah memperoleh prestasi yang sama baik dengan mahasiswa yang mengikuti kuliah. Meskipun penelitian-penelitian di atas dilakukan pada tingkat pendidikan tinggi namun kami yakin bahwa kesimpulan serupa akan diperoleh apabila penelitian yang sama dilakukan pada tingkat pendidikan menengah atas.
Mungkin ada pengajar yang menganggap bahwa semua pembelajaran secara inherent sudah bersifat aktif. Artinya, siswa yang menyimak apa yang disampaikan pengajar sudah dipandang sebagai siswa yang aktif. Namun kenyataan menunjukkan bahwa hanya mendengarkan saja itu tidak cukup[5,6]. Siswa juga harus membaca, menulis, berdiskusi, dan memecahkan soal. Jadi agar terlibat secara aktif siswa harus dibawa ke dalam proses berpikir tingkat lanjut, yaitu analisis, sintesis, dan evaluasi [6]. Pembelajaran yang membawa siswa untuk melakukan tindakan yang lebih dari sekedar mendengarkan [5,7,8,9], namun melakukan kegiatan-kegiatan seperti menemukan, memproses, dan memanfaatkan informasi [7], dinamakan pembelajaran aktif (active learning). Jadi Pembelajaran aktif tidak sekedar membuat siswa sibuk beraktivitas, namun membuat siswa berpikir tentang proses pembelajaran yang mereka alami [9,10]. Menurut L. Dee Fink [11], dalam pembelajaran aktif siswa harus mendapatkan pengalaman melakukan (do) sesuatu dan mengamati (observe) sesuatu dan melakukan diskusi dengan diri sendiri dan dengan siswa lain tentang apa yang diperoleh dari pengalaman tersebut. Jelas bahwa dalam pembelajaran aktif pengajar berperan sebagai fasilitator dan tanggung jawab siswa tidak hanya terbatas pada apa yang harus mereka pelajari namun juga bagaimana mereka mempelajarinya [12]
Bonwell dan Eison [6] menyatakan bahwa pembelajaran aktif memiliki lima karakteristik: (1) kelas pembelajaran aktif bukan kelas dengan siswa sekedar mendengarkan, (2) kurang menitikberatkan pada alih informasi, namun lebih pada pengembangan kemampuan (skill) siswa, (3) melibatkan tingkatan proses berpikir yang lebih tinggi yaitu analisis, sintesis, dan evaluasi, (4) siswa aktif dengan kegiatan membaca, berdiskusi, dan menulis, (5) perhatian pada eksplorasi tatanilai dan sikap siswa.
Ada sejumlah usulan strategi untuk melaksanakan pembelajaran aktif [7,12,13,14]. Usulan-usulan itu dikumpulkan dalam Lampiran 1. Tentunya tidak semua strategi cocok untuk suatu jenis matakuliah/matapelajaran tertentu. Tulisan ini mencoba mengusulkan proses pembelajaran aktif dengan strategi sebagaimana disampaikan dalam [2].
Pembelajaran aktif untuk fisika secara umum
Fisika merupakan salah satu bagian dari ilmu pengetahuan alam. Konsep-konsep dasar dan prinsip-prinsip dasar di dalam fisika, atau umumnya ilmu pengetahuan alam, diungkapkan secara kuantitatif dalam bentuk abstraksi matematik. Hal ini yang membuat kebanyakan pengajaran fisika lebih menekankan pada pemberian rumus-rumus fisika. Fisika menjadi tampak sangat abstrak, jauh dari realitas. Siswa mengalami kesulitan dalam mengaitkan atau menginterpretasikan ungkapan matematika dari suatu hukum fisika dengan realitas fenomena alam. Akhirnya, matapelajaran fisika menjadi salah satu matapelajaran yang dipandang sulit untuk kebanyakan siswa.
Agar matapelajaran fisika menjadi lebih menarik dan lebih mudah dipahami maka pembelajaran fisika harus dilakukan dengan cara tidak seperti sebagaimana diungkapkan di atas. Siswa sebaiknya dibawa ke esensi fisika itu sendiri, yaitu pemahaman gejala alam. Untuk itu siswa harus mengalami proses pembelajaran aktif dengan dibawa kepada suatu proses menemukan. Rumus-rumus fisika ditemukan oleh siswa, tidak diberikan oleh guru. Untuk itu maka pembelajaran aktif harus dilakukan dengan mengandung unsur-unsur sebagai berikut [2]:
1. Prediksi
2. Observasi
3. Refleksi
4. Teori
5. Aplikasi
Proses pembelajaran ini kebanyakan memerlukan sejumlah peralatan demonstrasi yang memungkinkan pengukuran dapat dilakukan. Pada tahap awal, menjelaskan demonstrasi yang akan dilakukan dan melakukan sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan demontrasi. Selanjutnya, dalam dua-tiga menit, setiap siswa diminta untuk memprediksi apa yang akan terjadi (misalnya dalam demontrasi rangkaian listrik sederhana, siswa diminta memprediksi terang tidaknya nyala sebuah lampu) berikut alasannya. Hasil prediksinya kemudian didiskusikan bersama dalam kelompok 3-5 siswa untuk menghasilkan prediksi kelompok. Diskusi saling beradu argumentasi atas prediksi masing-masing siswa akan membawa ke pengenalan lebih mendalam tentang fenomena yang sedang menjadi perhatian. Selanjutnya setiap kelompok menyampaikan prediksi dan alasannya.
Langkah selanjutnya adalah guru melakukan demonstrasi atau percobaan dan semua siswa melakukan pengamatan/observasi dan mencatat hasil pengamatannya. Dari pengamatan, siswa dibawa untuk menarik sebuah kesimpulan hasil pengamatan. Karena observasi adalah hakim tertinggi dalam ilmu pengetahuan maka tentunya kesimpulan tersebut (selama semua proses menuju kesimpulan benar) harus disepakati sebagai kenyataan yang benar. Berikutnya adalah mendiskusikan atau membandingkan antara prediksi awal dan kesimpulan hasil percobaan. Siswa yang mempunyai prediksi salah akan memahami kenapa prediksinya salah. Kesimpulan di atas dapat dibawa ke bentuk ungkapan matematis sehingga siswa merasakan “menemukan” sebuah teori atau prinsip fisika. Tahap akhir dari metode ini adalah memberikan kepada siswa sejumlah contoh aplikasi yang berkaitan dengan konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang berkaitan dengan observasi di atas. Perlu dicatat bahwa percobaan ini dapat dilakukan hanya oleh guru, mungkin dibantu oleh sejumlah siswa, maupun, jika memungkinkan, oleh beberapa kelompok siswa yang dilakukan secara bersamaan.
Metode di atas dapat dilakukan baik untuk kelas kecil maupun kelas besar. Penerapan metode ini mungkin membuat situasi kelas menjadi gaduh. Namun ini tidak menjadi masalah selama kegaduhan tersebut adalah dalam rangka proses pembelajaran.

ARTIKEL
Peningkatan pendidikan di Indonesia mutlak untuk dilakukan. Melakukan pembenahan segala lini yang berhubungan dengan pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung tidak dapat untuk ditawar dan ditunda-tunda lagi. Keterpurukan pendidikan kita hari ini sudah di bawah taraf toleransi lagi. Tidak sekedar pendidikan kita yang kalah dengan mutu pendidikan di luar saja, namun pendidikan kita disinyalir tidak lagi memiliki orientasi yang jelas di masa depan. Bukan rahasia lagi ketika dulu kita sempat menjadi acuan pendidikan negeri seberang, kini beralih kita yang mengacu pada negeri seberang itu dalam hal pendidikan.
Polemik yang selama ini menjadi permasalah utama akan kemerosotan pendidikan kita antara lain adalah kurikulum. Kurikulum yang menjadi tolak ukur bagi para guru dalam memberikan materi dan bagaimana karakteristik penyampaikan materi tersebut dapat diterima dengan baik kepada para peserta didik. Padahal perubahan kebijakan atas kurikulum tersendiri telah banyak terjadi dari waktu ke waktu seiring dengan perubahan personalia dalam pemerintahan sendiri. Namun, hal itu tidak banyak memberikan perubahakan mutu pendidikan kita.
Kini, seakan kita telah memiliki angin baru yang sangat segar. Ketertinggalan bangsa ini dalam hal pendidikan seakan dapat teratasi dengan adanya kebijakan baru pemerintah untuk menetapkan suatu kebijakan yang saat ini banyak diperbincangankan yakni penerapan KTSP. Istilah yang sebenarnya adalah singakatan dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurilukum yang sebenarnya juga mengusung Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Buku yang berjudul Kurikulum yang Mencerdaskan (Visi 2030 dan Pendidikan Alternatif) dapat menjadi acuan awal bagi kita semua. Sebuah buku yang ditulis oleh para pakar dan pelaksana pendidikan yang tergabung dalam Forum Mangunwijaya. Sebuah wadah komunitas diskusi pendidikan yang ada di Yogyakarta. Dengan pengalaman dan orientasi pendidikan Indonesia ke depan, para penulis memberikan banyak ulasan seputar pendidikan kita dulu, kini dan esok.
Apa yang dimaksud dengan KTSP dan bagaimana menjadikan kurikulum ini dalam berperan untuk mencerdaskan peserta didik adalah poin utama dalam ulasan buku ini. Bagaimana pula meningkatkan mutu pendidikan kita dengan mengembangkan potensi pendidikan alternatif yang kini kita sadari sebagai pembaruan pendidikan yang segar, ontentik dan sangat menggebrak ini. Dengan tidak melepaskan arus-utama tujuan pendidikan untuk menopang peningkatakan kesejahteraan masyarakat.
Perlu disadari bersama, bahwa pokok persoalan yang sering diperdepatkan kemudian ialah apakah penerapan KTSP sekarang ini merupakan resep kurikulum yang mencerdaskan atau malah sebaliknya? Pertanyaan-pertanyaan yang lain tentu juga bermunculan, namun yang perlu dicatat ialah para guru menjadi “sibuk” bergelur dengan KTSP ini. Ada yang jatuh bangun menyusun dan mengembakan sendiri setelah membaca segala referensi, ada yang disibukkan pula untuk bertanya ke berbagai sumber, ada pula yang sekedar mengunggu perkembangan dalam artian tinggal mencontoh saja (copy-paste), pun tidak sedikit yang selalu bingun dan bingun yang pada akhirnya tidak menghasilkan apa-apa.
Singkatkan, melalui buku ini, para penulis mencurahkan daya pikirnya untuk tidak terkesima begitu saja dengan meluncurnya kebijakan KTSP yang kini diyakini dapat mengatasi carut-marut pendidikan kita dari hulu hingga hilir. Penulis memberikan ulasan tentang potensi KTSP dalam mengatasi problem pendidikan selama ini. Namun, mereka juga memberika kritiknya terdapat pelaksanaan KTSP yang sangat gencar-gencarnya diaktualisasikan pada saat ini.
Begitu pula penulis dengan segala pengalaman dan kemapuannya, mencoba untuk menguraikan secara rinci akan adanya pengelolaan pendidikan alternatif. Sebuah pendidikan otonom yang saat ini juga banyak dilirik sebagai jalan keluar keterpurukan pendidikan di Indonesia. Diantaranya ialah Komunitas Orang Rimba dan Butet Manurung di Jambi, SLTP Alternatif Qaryah Tayyibah di Bahruddin di Jawa Tengah dan SD Mangunan di Yogyakarta.
Wacana dan ulasan yang sangat aktual dalam permasalah pendidikan di tanah air ini, menjadikan buku yang ditulis oleh mereka yang bersibaku dengan pendidikan, mau tidak mau kaya akan kreasi dan inovasinya guna mengeluarkan bangsa ini dari segala keterpurukan terutama dalam hal pendidikan. Dengan gagasan segarnya itulah buku ini tidak hanya sangat bermanfaat baik pelaku dan pemerhati dunia pendidikan di tanah air saja, namun siapa saja yang memiliki kepedulian untuk memperbaiki kebijakan dan praktik pendidikan secara lebih mendasar dan terpadu di masa yang akan datang.
Para penulis juga tidak melupakan untuk mengajak kepada mereka terutama yang kini memiliki hubungan secara langsung dengan dunia pendidikan untuk memaksimakan potensi KTSP. Resep kurikulum satu ini, kini digelontorkan oleh pemerintah untuk memberikan keluasan bagi setiap sekolah untuk secara cepat meningkatkan pendidikan para peserta didiknya. Dan pada akhirnya dalam waktu yang tidak lama lagi sejalan dengan program MDS (Millenium Development Goals), visi 2030 pemerintah menatap Indonesia baru tidak lagi menjadi mimpi belaka kita semua. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar