Indonesia “Republik Korupsi”? Ya, idiom itu memang bisa menjadi sebuah stigma yang amat tidak nyaman bagi warga bangsa yang masih memiliki nurani. Namun, cobalah raba dan rasakan denyutnya! Betapa proses anomali sosial bernama korupsi itu sudah demikian deras mengalir di berbagai lini dan lapis kehidupan, mulai pusat hingga daerah. Sekat-sekat kehidupan di negeri ini (nyaris) tidak lagi menyisakan spase yang nyaman untuk tidak berbuat korup.
Terakhir, sejumlah LSM, seperti Brigade Pemburu Koruptor (BPK), Koalisi Anti Utang (KAU), dan Center for Local Government Reform (Celgor), mengungkap adanya dugaan aliran dana BI sebesar Rp2,6 miliar dan US$145.895 kepada anggota parlemen. Bentuknya bisa macam-macam; bantuan partisipasi, bantuan perjalanan, bantuan hubungan baik, bantuan pengobatan kesehatan, bantuan kehiatan, bantuan apresiasi dan representasi, bantuan pembahasan RUU, bantuan Badan Kelengkapan dan Komisi XI, atau bantuan stake holder eksternal.
Menggunakan dana BI konon bukan kali ini saja dilakukan anggota parlemen yang terhormat itu. Sebelumnya, juga ada skandal aliran dana BI jilid I. Saat itu, miliaran rupiah dana BI mengalir ke kantong-kantong anggota dewan untuk memuluskan proses UU BI pada periode 1999-2003. Belum lagi ceceran cek di kalangan anggota dewan dalam proses legislasi beberapa waktu lalu yang menghebohkan. Kasus korupsi di DPR memang rumit. Dia terasa, tapi sulit dibuktikan. Dia tercium, tapi secepat kilat bisa diendapkan. Berbagai kekebalan yang dimiliki anggota dewan, turut menenggelamkannya. (Silakan baca di sini!)
Namun, Badan Kehormatan DPR (BK DPR) kebakaran jenggot ketika Slank dengan gaya khasnya, slengekan dan kritis, menyindirnya lewat lirik “Gosip Jalanan”. Tegang dan merasa benar-benar dihinakan. Ketegangan bapak-bapak yang terhormat itu baru mereda setelah terbetik berita bahwa salah seorang anggota Komisi IV DPR RI diciduk oleh KPK. Wakil rakyat itu diduga terlibat dalam tindak pidana suap senilai Rp3 miliar untuk memuluskan pengalihan hutan lindung menjadi hutan tanaman industri (HTI) di Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). (Silakan baca di sini!) Sungguh, keterlaluan!
Kita jadi benar-benar cemas dan prihatin. Kenapa para wakil rakyat yang terhormat yang seharusnya menjadi pioner dan teladan dalam menginternalisasi dan menerapkan nilai-nilai kearifan dan keluhuran budi, justru malah menjadi biang kebobrokan dan berbagai perilaku korup lainnya. Bukankah mereka yang telah dengan suntuk membuat undang-undang? Mengapa mereka justru tidak segan-segan untuk meludahi produk undang-undang yang telah mereka buat? Apakah memang mereka sedang melakukan “balas dendam” terhadap modal material dan sosial yang telah mereka keluarkan untuk menggapai kursi Senayan? Kalau itu memang benar, pemilu yang selama ini kita laksanakan tak lebih hanya sekadar melahirkan “anak-anak durhaka” yang bisa membunuh ibu pertiwi sebagai “ibu kandung”-nya.
Kita pun jadi makin prihatin dan cemas, adakah pengusutan dapat dilakukan dengan tuntas dan adil? Cukup tersediakah aparat penegak hukum yang bersih untuk mengusutnya dengan adil, tepat, dan benar? Dan sampai kapan akan selesai?
Negeri kita telah lama dikenal sebagai negeri yang kaya. Namun, pemerintahnya banyak utang dan rakyatnya pun terlilit dalam kemiskinan permanen. Sejak zaman pemerintahan kerajaan, kemudian zaman penjajahan, dan hingga zaman modern dalam pemerintahan NKRI dewasa ini, kehidupan rakyatnya tetap saja miskin. Akibatnya, kemiskinan yang berkepanjangan telah menderanya bertubi-tubi sehingga menumpulkan kecerdasan dan masuk terjerembab dalam kurungan keyakinan mistik, fatalisme, dan selalu ingin mencari jalan pintas.
Kepercayaan terhadap pentingnya kerja keras, kejujuran, dan kepandaian semakin memudar karena kenyataan dalam kehidupan masyarakat menunjukkan yang sebaliknya. Banyak mereka yang kerja keras, jujur dan pandai, tetapi ternyata bernasib buruk hanya karena mereka datang dari kelompok yang tak beruntung, seperti para petani, kaum buruh, dan guru. Sementara itu, banyak yang dengan mudahnya mendapatkan kekayaan hanya karena mereka datang dari kelompok elite atau berhubungan dekat dengan para pejabat, penguasa, dan para tokoh masyarakat.
Akibatnya, kepercayaan rakyat terhadap rasionalitas intelektual menurun karena hanya dipakai para elite untuk membodohi kehidupan mereka saja. Sebaliknya, mereka lebih percaya adanya peruntungan yang digerakkan oleh nasib sehingga perdukunan dan perjudian dalam berbagai bentuknya semakin marak di mana-mana. Mereka memuja dan selalu mencari jalan pintas untuk mendapatkan segala sesuatu dengan mudah dan cepat, baik kekuasaan maupun kekayaan. Korupsi lalu menjadi budaya jalan pintas dan masyarakat pun menganggap wajar memperoleh kekayaan dengan mudah dan cepat.
Sungguh demikian parahkah perilaku korup di sebuah negeri yang pernah diagung-agungkan sebagai bangsa yang santun, beradab, dan berbudaya? Haruskah negeri ini hancur dan tenggelam ke dalam kubangan dan lumpur korupsi hingga akhirnya loyo dan tak berdaya dalam menghadapi tantangan peradaban?
Berdasarkan fakta ironis semacam itu, masuk akal juga kalau ada yang pernah menggulirkan wacana pendidikan antikorupsi. Pendidikan antikorupsi didasarkan pertimbangan bahwa pemberantasan korupsi mesti dilakukan secara integratif dan simultan yang mesti berjalan beriringan dengan tindakan represif terhadap koruptor. Karena itulah, pendidikan antikorupsi mesti didukung. Jangan sampai timbul keawaman terhadap korupsi dan perilaku koruptif.
Pendidikan antikorupsi perlu dirancang agar menggunakan pijakan multikutural sebagai basisnya karena banyaknya perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun kebudayaan. Dalam model multikulturalisme, masyarakat dilihat sebagai sebuah kepingan unik dari sebuah mosaik besar. Konsep multikulturalisme tidak sama dengan pluralisme. Pluralisme menekankan pengakuan dan penghormatan kepada adanya keragaman budaya dan suku bangsa, juga agama. Multikulturalisme menekankan keanekaragaman dalam persamaan derajat.
Pendidikan antikorupsi berbasis multikultural mengandaikan domain bangsa sebagai arena yang dipenuhi bermacam tipe manusia. Pendidikan antikorupsi berbasis multikultur didasari konsep perbedaan yang unik pada tiap orang. Setiap orang memperoleh peluang pembelajaran sesuai keunikannya. Pendidikan ini dikelola sebagai sebuah dialog, sehingga tumbuh kesadaran dari setiap warga akan pentingnya pemberantasan dan pencegahan korupsi. Sampai tingkat lanjut menumbuhkan kesadaran kolektif, untuk secara bersama memberantas korupsi.
Memang sudah saatnya dunia pendidikan kita disentuh oleh persoalan-persoalan riil yang berlangsung di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Ketika perilaku korupsi sudah demikian mengakar di berbagai lapis dan lini kehidupan masyarakat, sudah seharusnya para siswa didik yang kelak akan menjadi penentu masa depan negeri ini, diperkenalkan dengan masalah-masalah korupsi untuk selanjutnya diajak bersama-sama memberikan sebuah pencitraan bahwa korupsi harus menjadi public enemy yang harus dihancurkan bersama. Para siswa didik perlu tahu betapa berbahayanya perilaku koprusi itu sehingga mereka diharapkan memiliki filter yang amat kuat untuk tidak tergoda melakukan tindakan-tindakan korup.
Persoalannya sekarang, perlukah pendidikan antikorupsi dimasukkan ke dalam kurikulum sebagai mata pelajaran tersendiri? Ya, pertanyaan ini menjadi penting untuk dijawab, sebab jangan sampai kita mengulang bentuk-bentuk indoktrinasi yang cenderung dogmatis seperti yang pernah terjadi pada masa Orde Baru. Penataran P4, misalnya, demikian masif dilaksanakan di segenap lapis birokrasi dan institusi, tetapi kenyataannnya justru pengamalan Pancasila hanya sekadar menjadi sebuah kekenesan dan kelatahan; tanpa merasuk ke dalam roh dan jiwa.
Selain itu, korupsi sebenarnya merupakan persoalan kompleks dan rumit yang mencakup ranah hukum, sosial, ekonomi, politik, budaya, maupun agama. Realitas sosial yang timpang, kemiskinan rakyat yang meluas serta tidak memadainya gaji dan upah yang diterima seorang pekerja, merebaknya nafsu politik kekuasaan, budaya jalan pintas dalam mental suka menerabas aturan, serta depolitisasi agama yang makin mendangkalkan iman, semuanya itu telah membuat korupsi semakin subur dan sulit diberantas, selain karena banyaknya lapisan masyarakat dan komponen bangsa yang terlibat dalam tindak korupsi. Karena itu, dekonstruksi sosial tak bisa diabaikan begitu saja dan kita perlu merancang dan mewujudkannya dalam masyarakat baru yang antikorupsi.
Nah, agaknya akan sia-sia saja pendidikan antikorupsi masuk ke dalam kurikulum pendidikan secara formal kalau tidak diimbangi dengan proses dekonstruksi sosial secara simultan. Berbagai komponen masyarakat perlu menjadikan perilaku korupsi ini sebagai tindakan paling “bangsat” yang bisa menyengsarakan hajat hidup rakyat banyak. Supremasi hukum harus jalan. Para pengemplang duwit rakyat yang nyata-nyata terbukti korupsi harus dikerangkeng di penjara untuk menimbulkan efek jera. Seiring dengan itu, para siswa didik juga perlu diajak berdialog dan mengikuti proses pembelajaran secara terbuka dan interaktif melalui pemaparan perilaku korupsi dan dampaknya bagi masyarakat luas. Dengan cara begitu, perilaku antikorupsi dengan sendirinya akan masuk ke dalam ranah nurani dan jiwa siswa didik sehingga kelak mereka benar-benar menjadi generasi masa depan yang bersih dan berwibawa. Jadi, tidak perlu lagi diformalkan ke dalam kurikulum. Nah, bagaimana? ***
Sumber : mgmpbismp.co.cc/2009/05/15/kurikulum-pendidikan-dan-antikorupsi/ - 41k –
Label
Arsip Blog
-
▼
2009
(108)
-
▼
Mei
(103)
- Masa Bimbingan Siswa
- PENGETAHUAN JURNALISTIK MERUPAKAN MODAL BAGI SISWA
- Pelatihan untuk Siswa Putus Sekolah
- Sekolah Rusak Rampas Hak Siswa Raih Layanan Pendid...
- Tidak Ada Alasan Menahan Rapor yang Menjadi Hak Siswa
- Pendidikan yang Menghargai Hak Siswa
- Pelayanan-pelayanan untuk Para Siswa
- Manajemen Kesiswaan
- Tercabulinya hak pribadi siswa
- Tahun Ajaran Baru, Terapkan Penilaian dengan Porto...
- Hardiknas 2009: Pendidikan Sains, Teknologi, dan S...
- Sistem Penilaian Ktsp Sma - Presentation Transcript
- YUG Bantu Pembangunan Sarana Pendidikan di Banten,...
- Teknik non-Tes dalam Pengajaran membaca
- Menyedihkan! Sarana Pendidikan Belum Sentuh Huta P...
- Diskriminasi Melanggar UU Pendidikan
- INFORMASI PELAYANAN PENDIDIKAN
- Lagi, Gedung SD Roboh di Jombang
- STANDAR PENILAIAN PENDIDIKAN
- Belajar Bahasa Indonesia Tak Menarik Lagi
- Sastra Pertunjukan? Gampang!
- PENGERTIAN PAKEM
- Home Community Artikel Untukmu Guruku Konstruks...
- Penilaian Berbasis Kelas
- Pembelajaran Seni Budaya itu Menarik dan Menyenangkan
- Pemkot Terapkan Pembelajaran Sains Menarik Di Sekolah
- PENGARUH MEDIA VISUAL DALAM PEMBELAJARAN KOOPERATI...
- Awas, "Bom Sosial" dari Sekolah Nasional Plus
- PENERAPAN CTL DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA1
- Sekolah nasional bertaraf internasional
- Kurikulum Sekolah Internasional Harus Mengacu Kult...
- Bethany School Terapkan Kurikulum Internasional
- EVALUASI PEMBELAJARAN
- Kurikulum Untuk Anak Usia Dini, Perlukah?
- Selalu Berjubel di SD 1 Pagerejo
- 15 SARANA RUSAK
- Kurikulum Pendidikan Usia Dini
- 867 SD/MI di Banjarnegara Rusak
- PEMBELAJARAN MATEMATIKA KONTEKSTUAL BERBASIS WEB
- SARANA PENDIDIKAN
- Peran Aktif Internet dalam Pembelajaran Siswa di S...
- Sekolah Gratis Akan Perlambat Perbaikan Sarana Pen...
- PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME
- Pembelajaran Aktif
- Joyful Learning sebagai Landasan Pembelajaran Sisw...
- BELAJAR BERFIKIR DENGAN MELIBATKAN OPERASI MENTAL
- BAGAIMANA MENGAJAR ANAK CERDAS ISTIMEWA?
- 3 PILAR PEMBINAAN KESISWAAN
- Tingkatkan Mutu Siswa Lewat Profesional Guru
- Meningkatkan Mutu Pendidikan Dasar melalui Manajem...
- KETIDAKADILAN DALAM KEBIJAKAN PENDIDIKAN
- Surplus Institusi pendidikan yang dikecualikan dar...
- PEMERINTAH JANGAN RAGU-RAGU BANGUN SARANA DAN PRAS...
- UTAMAKAN LAYANAN PENDIDIKAN, SARANA PRASARANA BELA...
- FASILITAS PENDIDIKAN UNTUK ANAK CACAT, MINIM
- MASALAH PENDIDIKAN DI INDONESIA
- PERAN PERPUSTAKAAN SEKOLAH
- CTL YANG CENTIL KITA SENTIL....!!!
- KONSEP KE-PERBEDAAN DALAM PENDIDIKAN
- Manfaat Manajemen Kurikulum Pendidikan Dalam Peng...
- Kurikulum untuk Pluralitas Kebutuhan Belajar Indiv...
- Artikel: KURIKULUM / SILABUS BERDIFERENSIASI
- Memasukkan Konsep Sekolah Ramah Anak ke dalam Pend...
- Link and match: Keterkaitan dunia industri dan dun...
- KURIKULUM PENDIDIKAN DAN ANTI KORUPSI
- Berhasil Bina Sepakbola, Sukses Pimpin Sekolah
- TANTANGAN GURU TERHADAP PARADIGMA KTSP...
- GURU SEMAKIN MATERIALISTIK
- GURU SEBAGAI PENGELOLA KELAS
- BAGAIMANA MENJADI GURU YANG BAIK (PROFESIONAL)???
- MENCARI SOSOK GURU IDEAL
- GURU MENDATANG MINIMAL SARJANA ATAU BERSERTIFIKAT
- PENINGKATAN KUALIFIKASI GURU DALAM PERSPEKTIF TEKN...
- 800 Juta Untuk Pelatihan Guru SD Korban Gempa Bant...
- PROFIL GURU MASA DEPAN
- MESSAGE FROM GROUP MODERATOR
- PROFIL GURU MASA DEPAN
- TIPE-TIPE PEMIMPIN & FIGUR GURU MASA DEPAN
- SERTIFIKASI GURU ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN
- STOP SERTIFIKASI GURU!!!
- Seorang Dosen Harus Serius Lakukan Evaluasi Kegiat...
- PAK GURU, JANGAN "TEXT BOOK" DONK!!!!
- UJIAN AKHIR NASIONAL (UAN) SEBAGAI ISSUE KRITIS PE...
- KENAPA SEKOLAH NEGERI RATA-RATA KURANG DISIPLIN DI...
- KENAPA SEKOLAH STANDAR INTERNASIONAL MAHAL???
- SEKOLAH MAHAL = HASILNYA BAIK?
- MAHALNYA PENDIDIKAN BERKUALITAS
- Biaya Pendidikan Sekolah Bisa Terasing dari Publik
- 36 Guru Mantapkan Kurikulum
- Pendidikan Gratis dan Nasib Sekolah Swasta
- Selamat Menempuh Ujian Nasional
- :UN yang Tak Perlu Ada
- Tinjauan Teoritis dan Praktis Evaluasi Pelaksanaan...
- PEMBIAYAAN PENDIDIKAN TINGGI Pembiayaan Pendidikan...
- MALAYSIA GRATISKAN BIAYA PENDIDIKAN DASAR DAN MENE...
- Achmad Jabir: Pendidikan kita terlalu banyak akses...
- Achmad Jabir: Pendidikan kita terlalu banyak akses...
- Pembiayaan Pendidikan dalam Islam
- TUJUH PROVINSI BELUM TEKEN AKAD PEMBIAYAAN PENDIDIKAN
- Diskusi Terfokus NGO : Review Kebijakan Pembiayaan...
-
▼
Mei
(103)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar